Asas-asas Dalam Perjanjian

Di dalam hukum kontrak dikenal banyak asas, diantaranya adalah sebagai berikut[1]
1)      Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak berlaku.
2)     Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian.[2]
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:[3]
a)      Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b)      Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c)      Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian;
d)     Bebas menentukan bentuk perjanjian;
e)      Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2)      Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal pasal tertentu yang sifatnya memaksa.[4]
3)      Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[5]
4)      Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Sementara itu, Arrest H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan iktikad baik.[6]
Di samping keempat asas di atas, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu dijelaskan sebagai berikut:[7]
a)      Asas kepercayaan
Asas Kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.
b)      Asas Persamaan Hukum
Asas Persamaan Hukum adalah bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda bedakan antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
c)      Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitor, namun debitor memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
Asas keseimbangan dilandaskan pada ideologi yang melatarbelakangi tertib hukum Indonesia. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sumber tata nilai dan mencerminkan cara pandang masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia adalah wakil dan cerminan masyarakat dan juga menjaga arah perkembangan tertib hukum sehingga tolak ukur tata nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tetatp terjaga sebagai ideal yang setiap kali hendak diejawantahkan.[8]
d)     Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
e)      Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitor. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral).
f)       Asas Kepatutan
Asas Kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
g)      Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti. 8. Asas Perlindungan Asas Perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitor dan kreditor harus dilindungi oleh hukum.




[1] Ahmadi Miru, 2013, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta. 3
[2] Ibid, hlm. 4
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid, hlm. 5
[6] Ibid.
[7] Mariam Darus Badrulzaman, dalam buku Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak), hlm. 13-14.
[8] H. Budiono. 2006. Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia. Citra Aditya Bakti :Bandung, hlm. 357.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar